Resistensi Antimikroba: Apa dan Bagaimana?
Oleh:
apt. Kartika Citra Dewi Permata Sari, M.Farm., apt. Nisa Maria, M.Farm., apt. Larasari Arrum Kusumawardhani, M.Si
Fakultas Farmasi Universitas Indonesia
World Health Organization (WHO) menetapkan resistensi antimikroba menjadi 10 masalah kesehatan terbesar di dunia. Masalah tersebut telah menjadi perhatian dunia sehingga setiap tahunnya diadakan World Antimicrobial Awareness Week (WAAW) pada tanggal 18 – 24 November. Salah satu fokus kegiatan global tersebut adalah peningkatan edukasi dan kesadaran seluruh pihak terkait bahaya resistensi antimikroba. Artikel ini hadir sebagai bentuk upaya edukasi bagi masyarakat tentang resistensi antimikroba sehingga upaya pengendalian resistensi dapat dioptimalkan.
Mari mengenal antimikroba
Antimikroba meliputi antibiotik, antivirus, antijamur dan antiparasit yang digunakan untuk mencegah atau mengobati infeksi. . Penyebab infeksi ini adalah bakteri, virus, jamur atau parasit. Obat antimikroba ini dibuat secara khusus untuk menghambat atau membunuh antimikroba yang ditargetkan. Antimikroba dapat digunakan pada manusia, hewan, dan tumbuhan. Beberapa contoh obat antimikroba dapat dilihat pada Gambar 1.
Obat antimikroba yang beredar di pasaran terdiri dari berbagai bentuk sediaan yaitu:
1. Oral (dikonsumsi)
2. Injeksi (disuntikan)
3. Topikal (penggunaan luar): bentuknya dapat berupa salep, krim, obat tetes dan lainnya
Apakah antimikroba sama dengan antiseptik atau disinfektan?
Antiseptik atau disinfektan adalah sebutan untuk senyawa kimia yang menghambat pertumbuhan atau membunuh mikroba dan digunakan untuk sterilisasi atau membersihkan permukaan. Penggunaan antiseptik atau disinfektan ditujukan untuk pencegahan infeksi dari lingkungan, berbeda dengan antimikroba yang tujuan utamanya adalah terapi. Contoh dari antiseptik adalah alkohol, hidrogen peroksida, dan formaldehid.
Bagaimana cara mendapatkan Antimikroba?
Antimikroba merupakan OBAT KERAS yang penggunaannya harus berdasarkan resep dokter. Jadi penggunaan antimikroba tidak diperbolehkan dalam pengobatan sendiri tanpa berkonsultasi pada dokter. Namun, Apoteker di apotek dapat memberikan antimikroba tertentu yang termasuk ke dalam Daftar Obat Wajib Apotek (DOWA) dengan pembatasan dan aturan yang harus dipenuhi. Beberapa antimikroba yang masuk ke dalam DOWA termasuk ke dalam antimikroba topikal dan pengobatan TBC ulangan. Oleh sebab itu, pada saat melakukan pengobatan sendiri, masyarakat diharapkan untuk meminta konsultasi kepada Apoteker di Apotek agar dapat diarahkan untuk menggunakan obat sesuai dengan regulasi yang berlaku dan sesuai dengan kondisi kesehatan pasien.
Apa akibatnya jika antimikroba digunakan tanpa kontrol?
Penggunaan antimikroba tanpa pemeriksaan atau diagnosis yang tepat merupakan penyebab utama terjadinya resistensi antimikroba. Dokter akan memberikan antibiotik secara bijak sesuai dengan hasil pemeriksaan yang telah dilakukan. Selain itu, kepatuhan terhadap aturan pakai antimikroba juga sangat berpengaruh terhadap risiko resistensi. Obat antimikroba harus digunakan dengan aturan pakai tertentu untuk menjamin efektif melawan mikroba. Oleh sebab itu, walaupun gejala sudah dirasa membaik, pasien tetap diedukasi untuk menghabiskan obat antimikroba sesuai aturan pakai yang diresepkan.
Apa itu resistensi antimikroba?
Resistensi antimikroba adalah ketika bakteri, virus, jamur atau parasit penyebab infeksi bermutasi dan menyebabkan obat antimikroba tidak efektif lagi atau menjadi kebal. Pada dasarnya, organisme kecil seperti bakteri, virus, jamur atau parasit memang memiliki sifat mudah bermutasi sebagai upaya untuk bertahan hidup. Penggunaan antimikroba yang tidak sesuai dengan aturan pakai juga menyebabkan peningkatan risiko resistensi. Misalnya,
saat ada antimikroba yang menyerang bakteri tertentu tetapi diberikan dalam dosis yang tidak tepat, maka bakteri akan berusaha mempertahankan diri dengan cara bermutasi. Apabila bakteri tersebut telah bermutasi, antimikroba yang sebelumnya diberikan bisa menjadi tidak mempan lagi untuk menghambat atau membunuh bakteri yang sudah bermutasi tersebut. Masyarakat sering menyebutnya menjadi bakteri sudah kebal. Kondisi ini yang disebut terjadinya resistensi antimikroba. Jika terinfeksi oleh mikroba yang sudah resisten tersebut maka untuk dapat diobati harus menggunakan antimikroba lain yang masih bisa menghambat atau membunuh bakteri tersebut.
Apa penyebab resistensi antimikroba?
Hal -hal yang dapat menyebabkan resistensi antimikroba adalah:
- Penggunaan antimikroba yang tidak tepat (tidak rasional) di manusia, hewan dan tumbuhan.
- Pembuangan obat antimikroba yang tidak sesuai sehingga mencemari lingkungan. c. Kurangnya perilaku pencegahan infeksi yang menyebabkan penyakit infeksi mudah menyebar.
- Kurangnya akses yang memadai terhadap pengobatan, vaksin maupun pemeriksaan kesehatan
- Kurangnya kesadaran dan pemahaman mengenai penggunaan antimikroba serta risiko resistensi.
- Kurangnya kontrol terhadap obat antimikroba.
Mengapa resistensi antimikroba itu berbahaya?
Resistensi antimikroba sangat berbahaya karena menyebabkan penyakit infeksi lebih sulit diobati. Resistensi antimikroba dapat terjadi terhadap satu atau lebih obat antimikroba. Bahkan, saat ini sudah ada mikroba yang disebut “superbugs” yang kebal terhadap banyak antimikroba. Sebagaimana kita ketahui, penyakit infeksi mudah menular sehingga apabila seseorang terinfeksi superbugs ini maka orang tersebut dapat menularkan ke banyak orang bahkan berpindah negara. Selain itu, mikroba resisten juga dapat ditularkan antar hewan ke manusia. Apabila terjadi kondisi seperti ini maka akan sangat sulit menemukan antimikroba yang bisa digunakan untuk mengatasi penyakit yang disebabkannya. Selain itu, pengembangan obat antimikroba tidak secepat kejadian resistensi. Kondisi tersebut menjadi sangat berbahaya dan menjadikan risiko beban kesehatan dan ekonomi akibat penyakit infeksi menjadi lebih besar.
Jadi apa yang harus dilakukan untuk mengendalikan resistensi antimikroba?
Upaya pengendalian resistensi antimikroba membutuhkan peran aktif dari seluruh pihak. Pemerintah Indonesia sudah menetapkan rencana aksi nasional terkait pengendalian
resistensi antimikroba yang melibatkan berbagai pihak kementerian/Lembaga sebagai pendekatan “One Health Approach”. Lalu apa yang dapat dilakukan sebagai masyarakat awam untuk berperan dalam pengendalian antimikroba. Gambar 3 menjelaskan hal-hal yang dapat dilakukan oleh masyarakat untuk mengendalikan laju resistensi antimikroba.
Selain yang telah dipaparkan pada Gambar 3, salah satu upaya penting pencegahan resistensi antimikroba adalah pencegahan infeksi. Hal yang dapat dilakukan untuk mencegah penularan infeksi adalah sebagai berikut:
- Menjalankan perilaku hidup bersih dan sehat
- Rajin mencuci tangan dengan sabun atau menggunakan hand sanitizer c. Menggunakan masker
Dengan mencegah penularan infeksi maka kita juga mengendalikan penggunaan antimikroba.
Referensi:
Anwar M., et al. 2020. Improper disposal of unused antibiotics: an often overlooked driver of antimicrobial resistance. Expert review of anti-infective therapy Vol 18 (8) p 697-699. https://doi.org/10.1080/14787210.2020.1754797
Badan Pengawas Obat dan Makanan RI. 2014. Informatorium Obat Nasional Indonesia. http://pionas.pom.go.id/ioni/pedoman-umum
Badan Pengawas Obat dan Makanan RI. 2019. Badan POM Canangkan “Ayo Buang Sampah Obat-Gerakan Waspada Obat Ilegal”. https://www.pom.go.id/new/view/direct/ayo buang-sampah-obat
McDonnell, G., & Russell, A. D. 2001. Antiseptics and Disinfectants: Activity, Action, and Resistance. Clinical Microbiology Reviews, 14(1), 227.
World Health Organization. 2020. Antimicrobial resistance. https://www.who.int/news room/fact-sheets/detail/antimicrobial-resistance.
World Health Organization . 2021. World Antimicrobial Awareness Week. https://www.who.int/indonesia/news/campaign/waaw-2021