WASPADA BAHAYA GULA DARAH RENDAH

Oleh: Oleh: Prof. apt. Rani Sauriasari, M.Med.Sci., Ph.D 
Editor: apt. Kartika Citra Dewi Permata Sari, M.Farm.

Apa itu hipoglikemia?

Gula darah rendah atau yang biasa dikenal dengan istilah hipoglikemia diartikan sebagai kondisi di saat kadar gula dalam darah kurang dari 70 mg/dL. Hal ini dapat diketahui melalui pemeriksaan secara mandiri dari darah perifer (ujung jari) atau pengambilan darah melalui vena (di laboratorium).

Ilustrasi pemeriksaan gula darah secara mandiri
(Sumber: pribadi)

Apa saja gejalanya?

Gejala gula darah rendah
(Sumber: pribadi)

Gejala hipoglikemia dapat muncul secara tiba-tiba dan dapat bervariasi antar individu. Gejala tersebut meliputi keringat dingin, jantung berdebar, gemetar (tremor), pucat, mual, lapar, penglihatan kabur, cemas, badan terasa lemas (fatigue), sampai dengan terjadinya gangguan terkait saraf yang ditunjukkan melalui perubahan perilaku, kebingungan, sulit konsentrasi, pusing, kejang, hingga hilang kesadaran. Untuk memastikan apakah benar gejala tersebut adalah karena hipoglikemia, bisa dilakukan pemeriksaan gula darah.

 

Apa saja penyebabnya?

Hipoglikemia dapat disebabkan oleh banyak faktor (multifaktorial). Namun demikian, penyebab umum hipoglikemia adalah kurangnya asupan karbohidrat atau penggunaan obat-obatan tertentu seperti obat antidiabetes. Sebagian besar kasus hipoglikemia terjadi pada pasien diabetes. Hal ini dikarenakan obat antidiabetes ada yang bekerja dengan cara meningkatkan kadar hormon insulin yang bertugas menurunkan kadar gula dalam darah. Contoh obat golongan tersebut adalah sulfonilurea (glibenklamid, glimepirid, glipizid, gliklazid, glikuidon) dan meglitinid (repaglinid dan nateglinid). Obat antidiabetes lainnya juga dapat berisiko menyebabkan hipoglikemia jika diberikan secara kombinasi, atau terdapat faktor risiko lain yang dimiliki pasien.

Walaupun jarang, hipoglikemia juga dapat disebabkan oleh obat lain, seperti gabapentin, asam salisilat, trimetoprim-sulfametoksazol, fluorokuinolon, siprofloksasin, tetrasiklin, dan tramadol. Kejadian hipoglikemia akibat penggunaan obat dalam dosis lazim merupakan salah satu bentuk efek samping obat.

 

Apa saja faktor risiko lain penyebab hipoglikemia?

Hipoglikemia akan lebih rentan terjadi pada individu yang memiliki faktor risiko. Faktor risiko hipoglikemia di antaranya adalah usia lanjut, indeks massa tubuh yang rendah, asupan makanan yang sedikit (kurang nafsu makan, diet atau puasa yang tidak tepat), konsumsi alkohol, dan aktivitas olahraga yang tinggi.

Selain itu perlu diwaspadai jika pasien memiliki gangguan ginjal dan/atau gangguan hati. Gangguan ginjal dapat meningkatkan risiko hipoglikemia, karena dapat memperlambat pembersihan obat dari dalam darah, sedangkan gangguan hati juga meningkatkan risiko hipoglikemia jika proses produksi glukosa di hati terganggu.

Bagaimana menangani hipoglikemia?

  • Jika dugaan gejala hipoglikemia terlihat, segera lakukan pengecekan gula darah (apabila memungkinkan).
  • Jika pasien dapat menelan, tangani sesegera mungkin dengan pemberian minuman atau makanan yang mengandung gula (teh manis, madu, sirup, dll). Berikan dengan hati-hati, bisa dengan disendokkan sedikit demi sedikit, agar pasien tidak tersedak.
  • Lakukan pengecekan gula darah kembali dalam rentang waktu 15 menit. Jika gula darah sudah di atas 70 mg/dl, maka pasien dapat mengkonsumsi makanan ringan atau makan biasa untuk memelihara kondisi gula darah normal.
  • Jika kondisi tidak membaik atau kondisi awal pasien berat dengan adanya gangguan kesadaran, segeralah pasien dibawa ke rumah sakit untuk segera mendapatkan penanganan yang tepat.

Hipoglikemia yang terlambat ditangani bisa mengakibatkan kejang hingga penurunan kesadaran dan dapat berujung pada kerusakan otak yang permanen, bahkan mengancam nyawa.

Apoteker berperan sangat penting untuk mengidentifikasi faktor risiko, mencegah, dan mengendalikan kejadian hipoglikemia.

 

Daftar Pustaka

Pytliak, M., Vargov, V., Mech rov , V. (2011). Drugs and Hypoglycemia.10.5772/20563

PERKENI. (2019). Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia,     PERKENI, Jakarta.

BPOM Republik Indonesia. (2014). Informasi Obat Nasional Indonesia (IONI). Diakses dari www.pionas.go.id

Pratiwi, C., Mokoagow, M. I., Made Kshanti, I. A., & Soewondo, P. (2020). The risk factors of inpatient hypoglycemia: A systematic review. Heliyon, 6(5), e03913. https://doi.org/10.1016/j.heliyon.2020.e03913

O’Brien K, Chock A, Shea J. An Overview of Hypoglycemia. US Pharm. 2012;37(6):50-56.

Tablet digerus

"SAYA TIDAK BISA MENELAN TABLET. APAKAH TABLETNYA BOLEH DIGERUS?"

Oleh: Kurnia Sari Setio Putri1, Raditya Iswandana1, Kartika Citra DPS2
1Laboratorium Farmasetika dan Teknologi Farmasi, Fakultas Farmasi, Universitas Indonesia
2Laboratorium Farmasi Klinik dan Farmasi Sosial, Fakultas Farmasi, Universitas Indonesia

 

Obat oral, yang dikonsumsi dengan cara ditelan, merupakan jenis obat yang paling dipilih oleh pasien karena mudah penggunaannya, tidak menimbulkan rasa sakit atau rasa tidak nyaman, serta tidak memerlukan bantuan tenaga kesehatan untuk menggunakannya. Ada beberapa jenis obat oral, misalnya tablet, kapsul dan sirup. Di antara jenis obat oral tersebut, tablet dan kapsul merupakan bentuk sediaan yang paling banyak tersedia untuk pasien dewasa, karena bentuknya yang sederhana dan ringkas, sehingga mudah dibawa kemana-mana. Namun demikian, ternyata tidak semua pasien dewasa bisa menelan sediaan tablet dan kapsul. Beberapa pasien dewasa, termasuk pasien lansia, barangkali mengalami kesulitan menelan tablet. 

“Saya tidak bisa menelan tablet. Apakah saya boleh menggerus/menghancurkan tablet tersebut kemudian meminum serbuknya?”

Demikian pertanyaan yang sering diajukan oleh pasien yang sulit menelan tablet. 

Ada beberapa jenis sediaan tablet yang tersedia di pasaran, antara lain tablet konvensional, tablet effervescent, tablet kunyah, tablet hisap, tablet bukal dan sublingual, tablet cepat hancur serta tablet salut (1,2). Masing-masing jenis tablet memiliki aturan dan cara pemakaian yang berbeda. 

Tablet konvensional adalah jenis tablet yang paling banyak tersedia, dikonsumsi dengan cara ditelan dengan bantuan air minum. Tablet effervescent perlu dilarutkan dulu dalam air minum, sebelum dikonsumsi. Tablet kunyah dan tablet hisap tidak langsung ditelan, melainkan dikunyah atau dihisap dahulu. Tablet bukal dan sublingual tidak boleh ditelan, melainkan diletakkan di antara pipi-gusi atau di bawah lidah. Sementara, tablet cepat hancur adalah tablet yang dapat hancur di mulut, sehingga memudahkan untuk ditelan (1).

Untuk tablet salut, digunakan dengan cara ditelan dengan bantuan air minum. Berdasarkan tujuan penyalutannya, ada beberapa jenis tablet salut, antara lain (2):

  • Tablet salut film atau salut gula: untuk menutupi rasa atau bau obat yang tidak enak
  • Tablet salut film: untuk melindungi zat aktif obat dari pengaruh lingkungan
  • Tablet salut enteric (lepas tunda/ delayed release): untuk mencegah zat aktif dilepaskan di lambung dan mengatur zat aktif dilepaskan di usus halus, sehingga dapat menghindari iritasi lambung atau menghindari rusaknya zat aktif oleh asam lambung,

Selain jenis tablet di atas, terdapat juga tablet modified release yang pelepasan zat aktifnya diatur dengan sistem penyalutan/ reservoir atau dengan sistem matriks (2). Pada kemasan obat, tablet modified release ini biasanya ditandai dengan kode SR-sustained release, CR-controlled release atau XR-extended release. Formula dan sistem tablet modified release dapat mengatur zat aktif obat dilepaskan perlahan-lahan, secara bertahap dan terkontrol, dalam waktu yang lama/ diperpanjang sehingga pasien tidak perlu mengkonsumsi obat 3-4x sehari, melainkan cukup obat 1-2x sehari.

Jenis tablet yang berbeda-beda menyebabkan pasien tidak boleh sembarangan menggerus/ menghancurkan tablet sebelum dikonsumsi.

Menghancurkan tablet salut enteric dapat menyebabkan zat aktif obat di dalamnya rusak atau mengiritasi lambung pasien. Sementara itu, menghancurkan tablet modified release akan menyebabkan zat aktif obat dilepaskan sekaligus dalam jumlah banyak yang berisiko overdosis (2).

Kalau saya tidak bisa menelan tablet, bagaimana saya konsumsi obatnya?”

“Bagaimana membedakan tablet yang boleh digerus dan tidak boleh digerus?”

Jangan khawatir! Konsultasikan pemakaian obat kepada apoteker Anda. Sampaikan kesulitan Anda menelan obat. Apoteker Anda akan merekomendasikan tablet cepat hancur atau tablet yang boleh digerus sebelum ditelan, atau merekomendasikan jenis sediaan obat lain misal sirup.

Anda juga dapat menanyakan informasi lebih lanjut kepada Apoteker Anda mengenai jenis tablet yang dikonsumsi berdasarkan penanda di kemasan obat.

Discuss your medicine to your pharmacist. Because pharmacist is your partner in health! 

Referensi:

  1. Herbert A. Lieberman, Leon Lachman, Joseph B. Schwartz. Pharmaceutical dosage forms: Tablets. New York: Marcel Dekker.
  2. Howard C. Ansel, Loyd V. Allen, Jr., Nicholas G. Popovich, Pharmaceutical Dosage Forms and Drugs Delivery Systems, 9th Ed., Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia, 2011.

Strecth Mark

Kenali Stretch Mark dan Pengobatannya
oleh : Aulia Suci P, Fadhilah Tridara, Siti Hana A, Dr. apt. Kurnia SS Putri, M.Farm

Kulit merupakan bagian organ tubuh terluas yang menutupi seluruh permukaan tubuh, sekitar 15% dari total berat badan orang dewasa. Kulit memiliki banyak fungsi vital, seperti melindungi tubuh bagian luar dari zat kimia dan biologi seperti kuman dan bakteri, sebagai pengatur suhu tubuh dan sebagai indra peraba (Lawton, 2019). Sebagai organ tubuh terluas, kulit sering mengalami permasalahan atau kelainan yang dapat terjadi sementara maupun permanen. Permasalahan kulit dapat terjadi akibat faktor eksternal, namun beberapa kondisi kelainan kulit terjadi akibat genetik. Kebanyakan kelainan kulit bersifat minor namun ada pula yang menimbulkan efek serius dan dapat mengancam nyawa. Kelainan kulit yang sering terjadi dan bersifat minor seperti jerawat, alopesia, dermatitis atopik atau eksema, psoriasis, rosacea, kemerahan, ketombe, selulit, stretch mark dapat diatasi dengan penangan dokter ataupun dengan perawatan kulit (skin care) (“Skin Disorders: Pictures, Causes, Symptoms, Treatments, and Prevention”, 2022).

            Permasalahan kulit sering kali menjadi momok yang menakutkan bagi sebagian orang, terutama pada wanita. Stretch mark atau striae distensae merupakan salah satu permasalahan kulit yang sering terjadi. Menurut penelitian, 50‒90 persen wanita memiliki stretch marks, bahkan stretch marks dapat terjadi pada pria. Striae gravidarum merupakan stretch mark yang terjadi pada wanita hamil dan setelah melahirkan. Striae gravidarum biasanya disebabkan oleh kombinasi dari faktor genetik, kondisi hormonal, dan peningkatan stres mekanik pada jaringan ikat, misalnya peningkatan berat badan pada ibu hamil (Farahnik, et al., 2016).

Salah satu perawatan kulit pada kondisi stretch mark yang dapat dilakukan adalah menggunakan produk yang mengandung Centella asiatica. Penelitian Hu, S., et al. pada tahun 2018 dapat mencegah perparahan stretch mark dibandingkan dengan plasebo. Skincare dengan kandungan ekstrak Centella asiatica dapat memfasilitasi asam amino hydroxy-prosiliane-C yang dapat mempercepat regenerasi kolagen dan elastin, dengan menginduksi sintesis kolagen tipe 1 pada human derman fibriblast sehingga dapat mengurangi stretch mark (Togni, et al., 2018). Penggunaan bahan Tretinoin (Vitamin A) juga diketahui dapat memberikan efek perbaikan terhadap kondisi stretch mark, secara khusus berupa striae rubrae. Meski demikian, penggunaan tretinoin (serta turunan asam retinoat/ vitamin A) pada ibu hamil sangat tidak dianjurkan. Produk dengan formulasi tertentu, salah satunya adalah krim yang mengandung vitamin E, pantenol, asam hialuronat, dan elastin, berdasarkan studi diketahui menunjukkan lebih sedikit stretch mark lebih sedikit pada masa kehamilan dibandingkan tanpa dilakukan perawatan (Summers, Beverly, 2009). Hingga saat ini masih terus dikembangkan formulasi sediaan topikal untuk perawatan stretch mark (striae distensae) yang aman dan efektif.

Stretch mark juga dapat diatasi dengan menggunakan laser treatment. Berdasarkan penelitian, laser fraksional non-ablatif 1540-nm menunjukkan efektivitas yang baik pada kasus stretch mark gestasional (pada ibu hamil) yang hasilnya dapat diamati pada tiga bulan pasca perawatan (Malekzad et al., 2014). Meski demikian, laser treatment pada wanita hamil perlu ditelaah lebih lanjut keamanannya. Untuk stretch mark non-gestasional, laser fraksional dan non-fraksional telah digunakan dengan berbagai kemanjuran (Farahnik, et al., 2016).

Sebagai penutup, stretch mark merupakan kondisi yang umumnya terjadi pada populasi ibu hamil sebesar 43-88% serta dapat timbul salah satunya diakibatkan perubahan berat badan secara drastis (Oakley AM, et al., 2021). Penanganan/ perawatan terhadap striae gravidarum/ stretch mark yang lebih aman dilakukan terhadap wanita yang telah melahirkan. Untuk penanganan stretch mark pada wanita hamil, kontributor menyarankan untuk mengonsultasikan kepada dokter dan apoteker terkait kondisi stretch mark dan penggunaan produk kesehatan tertentu yang tepat dan aman. Apabila ada yang ingin ditanyakan lebih lanjut, dapat menggunakan fitur TanyaKami pada website PIO Farmasi. Salam sehat!

 

Referensi:

Farahnik, B., Park, K., Kroumpouzos, G. and Murase, J., 2022. Striae gravidarum: Risk factors, prevention, and management.

Hu, S., Belcaro, G., Hosoi, M., Feragalli, B., Luzzi, R., & Dugall, M. (2018). Postpartum stretchmarks: repairing activity of an oral Centella asiatica supplementation (Centellicum®). Minerva ginecologica70(5), 629–634. https://doi.org/10.23736/S0026-4784.18.04254-5

Kanitakis, J. (2002). Anatomy, histology and immunohistochemistry of normal human skin. European Journal of Dermatology, 12(4), 390–401.

Lawton S (2019) Skin 1: the structure and functions of the skin. Nursing Times [online]; 115, 12, 30-33.

Malekzad F, Shakoei S, Ayatollahi A, Hejazi S. The safety and efficacy of the 1540nm non-ablative fractional XD probe of star lux 500 device in the treatment of striae alba: Before-after study. J Lasers Med Sci 2014;5:194–8.

Oakley AM, Patel BC.(2021). Stretch Marks. Diakses 20 Februari 2022 dari https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK436005/

Skin Disorders: Pictures, Causes, Symptoms, Treatments, and Prevention. (2022). Retrieved 18 May 2022, from https://www.healthline.com/health/skin-disorders

Summers, Beverley. (2009). The effect of a topically-applied cosmetic oil formulation on striae distensae. Official journal of the South African Academy of Family Practice/Primary Care. 51. Diakses 20 Februari 2022 dari https://www.researchgate.net/publication/277873117_The_effect_of_a_topically-applied_cosmetic_oil_formulation_on_striae_distensae

Togni S, Maramaldi G, Pagin I, Riva A, Eggenhoffner R, Giacomelli L, et al. Postpartum stretch marks treated with Centella asiatica cream: report of efficacy from a pilot registry study. Esperienze Dermatol 2018;20(Suppl. 1 to No. 2):23-6. DOI: 10.23736/S1128-9155.18.00460-0

Ud-Din, S., McGeorge, D., & Bayat, A. (2016). Topical management of striae distensae (stretch marks): prevention and therapy of striae rubrae and albae. Journal of the European Academy of Dermatology and Venereology : JEADV, 30(2), 211–222. https://doi.org/10.1111/jdv.13223

Evolusi SARS-CoV 2

Pandemi Coronavirus Disease 2019 atau dikenal dengan COVID-19 telah berlangsung selama  lebih dari 2 tahun, sejak pertama kali virus penyebabnya yaitu Severe Acute Respiratory Syndrome-Coronavirus type 2 (SARS-CoV 2) terdeteksi di Wuhan, China pada akhir bulan Desember 2019. Agen penyebab COVID-1919 ini tanpa diduga dapat menyebar dengan cepat secara global, yaitu dalam kurun waktu kurang dari 3 bulan [1]. Hal ini dapat terjadi karena beberapa hal yaitu:

  1. penularannya yang mudah (melalui droplet);
  2. infeksi virus ini pada manusia, tidak semuanya menunjukan gejala (asimptomtik) atau bahkan hanya bergejala ringan,
  3. tingkat mobilitas manusia antar wilayah yang tinggi [2,3]. 

Penyebaran yang cepat ini, berakibat pada munculnya varian-varian baru dari SARS- CoV 2.  

SARS- CoV 2 secara umum merupakan virus RNA yang terus berevolusi dikarenakan sifat mutasi yang lebih tinggi dibandingkan virus DNA [4]. Mutasi pada SARS-CoV 2 diduga terjadi karena sifat alami RNA virus yang kurang efisien dalam menskrining kesalahan dalam replikasi, rekombinasi dua lineage virus yang menginfeksi inang yang sama, ataupun disebabkan oleh sistem pengeditan RNA inang yang merupakan bentuk dari respon imun alami [5]. Mutasi ini menyebabkan virus RNA dapat menghasilkan varian-varian baru yang memiliki adaptabilitas lebih baik dalam menghadapi kondisi yang tidak menguntungkan yaitu varian yang resisten terhadap obat, mampu mengecoh antibodi, ataupun meningkatan invasi pada sel host. 

Dari hasil penelitian diketahui bahwa tingkat mutasi genom SARS-CoV 2 rata-rata adalah sekitar 3.7 x 10-6 per nucleotide per siklus infeksi. Namun yang mencegangkan adalah tingkat mutasi gen pengkode protein Spike (S) yang berperan dalam masuknya virus ke dalam sel, cukup tinggi yaitu 16 x 10-6 per nucleotide per siklus infeksi [6]. Selain itu berdasarkan hasil analisis terhadap varian SARS-CoV2 di tahun 2020, diketahui bahwa SARS-CoV 2 mengalami tingkat mutasi yang lebih tinggi dibandingkan influenza virus H1N1 dan H3N2 musiman [7].   

Varian SARS-CoV 2 pertama kali terdeteksi pada akhir bulan Januari 2020 dengan ada substitusi D614G pada gen pengkode protein S, selanjutnya varian ini menjadi dominan di seluruh dunia pada bulan Juni 2020. Varian SARS-CoV 2 yang mengalami mutasi pada gen S dan menjadi varian of concern (VOC), teridentifikasi kembali pada akhir bulan Desember 2020 sampai dengan Awal januari 2021 yaitu Varian B.1.1.7 Inggris, B.1.351 Afrika Selatan, P.1 Brazil dan B.1.617 India (delta). Varian-varian ini menyebabkan penurunan pada aktivitas netralisasi sistem imun dan meningkatkan laju penyebarannya pada inang [8-11]. Dimana berdasarkan data sebaran varian litbangkes 2021, varian delta menyebabkan peningkatan kasus gelombang kedua di Indonesia pada pertengahan tahun 2021 dengan penambahan kasus positif berkisar seribu hingga sepuluh ribu kasus/hari. Tidak berhenti sampai delta, pada November 2021 varian SARS-CoV 2 baru yaitu Omicron, yang juga mengalami mutasi pada gen pengkode protein S, terdeteksi pertama kali di Afrika Selatan. Perlu diketahui bahwa sampai akhir 2021 populasi di negara afrika selatan yang sudah memperoleh vaksinasi lengkap baru mencapai sekitar 35% [12]. Tingkat vaksinasi yang rendah diduga dapat menjadi salah satu faktor munculnya varian baru.

Varian Omicron diketahui memiliki 50 titik mutasi, dengan sekitar 30 mutasi berada pada Gen pengkode protein S dimana 11 mutasi berada di daerah receptor binding domain (RBD) [12]. Jumlah mutasi tersebut lebih banyak dibandingkan varian delta yang sempat mendominasi penyebab COVID-19 didunia. Adanya mutasi pada protein S, terutama area RBD, mengindikasikan kemampuan adaptasi SARS-CoV 2 terutama pada tahap pertama infeksi yaitu tahap masuk ke dalam sel (infeksi sel).  Mutasi gen pada protein S terutama pada area RBD menjadi sorotan dikarenakan dapat menyebabkan efisiensi SARS-CoV 2 untuk dapat masuk ke dalam sel seperti yang terlihat pada varian delta dan Omicron saat ini. RBD merupakan area pada protein S yang akan berikatan dengan reseptor pada sel manusia yaitu Angiotensin-Converting enzyme 2 (ACE 2). Mutasi yang terjadi pada varian Delta dan Omicron di area ini menyebabkan afinitas ikatan antara RBD dan ACE 2 menjadi lebih efisien, sehingga virus lebih mudah masuk ke dalam sel dan melakukan proses replikasi. Untuk kasus varian Omicron, mutasi pada gen S juga menyebabkan tidak terdeteksinya gen tersebut menggunakan metode polymerase chain reaction (PCR), terjadinya reinfeksi SAR-CoV 2 kembali meskipun pernah terinfeksi varian lain SARS-CoV 2, dan penurunan efektivitas vaksin dibandingkan terhadap varian lainnya. Saat ini, untuk meningkatkan kekebalan tubuh maka dianjurkan pemberian vaksin ke-3 (booster) [13].  Dari sisi klinis infeksi oleh varian Omicron sampai saat ini masih belum bisa diambil kesimpulan, namun diketahui bahwa tingkat perawatan pasien yang sudah divaksinasi yang terinfeksi oleh Omicron lebih rendah dibandingkan pada penderita yang belum divaksinasi [11].

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat diketahui bahwa mutasi pada SARS-CoV 2 dipengaruhi oleh faktor internal yaitu sifat alamiah RNA virus dan eksternal yang dapat dikontrol oleh manusia. Oleh karena itu, dalam menghambat munculnya varian baru selain melakukan riset vaksin dan obat, beberapa negara terus menggalakkan program vaksinasi lengkap maupun booster, larangan perjalanan dari ataupun menuju negara-negara dengan kasus COVID-19 tinggi, memperluas fasilitas diagnosis, identifikasi varian SAR CoV-2, mengisolasi pasien positif, pelacakan kontak erat dengan pasien, dan menganjurkan penggunaan masker, serta  menghindari kerumunan. 

 

Referensi

  1. Hu, Ben., Guo, Hua., Zhou, Peng., & Shi, Zheng Li. (2020). Characteristics of SARS- CoV-2 and COVID-19. Nature Reviews Microbiology. doi:10.1038/s41579-020-00459-7.
  2. Dong, Y. et al. (2020). Epidemiology of COVID-19 among children in China. Pediatrics, 145 (6). doi: 10.1542/peds.2020-0702 
  3. Atkinson, Tyler., Dolmas, Jim., Koch, Christoffer., Koenig, Evan., Mertens, Karel., Murphy, Anthony. and Yi, Kei-Mu. (2020). Mobility and Engagement Following the SARS-Cov-2 Outbreak*. Federal Reserve Bank of Dallas. doi:10.24149/wp2014
  4. Peck, Kayla M., Lauring, Adam S.(2018). Complexities of Viral Mutation Rates. Journal of Virology.doi.org/10.1128/JVI.01031-17
  5. Dorp, L., Richard, D., Tan, C.C.S., Shaw, L.P., Acman, M., & Balloux, F. (2020). No Evidence for Increased Transmissibility from Recurrent Mutations in SARS-CoV-2. Nature Communications. doi:10.1038/s41467-020-19818-2
  6. Borges, Vítor., João Alves, Maria., Amicone, Massimo., Isidro, Joana., Zé-Zé, Líbia., Duarte, Sílvia., Vieira, Luís., Guiomar, Raquel., Paulo Gomes, João., Gordo, Isabel. (2021).Mutation rate of SARS-CoV-2 and emergence of mutators during experimental evolution. BioRxiv.  doi: https://doi.org/10.1101/2021.05.19.444774
  7. Liu, L., Zeng, F., Rao, J., et al. (2021). Comparison of Clinical Features and Outcomes of Medically Attended COVID-19 and Influenza Patients in a Defined Population in the 2020 Respiratory Virus Season. Front Public Health. doi:10.3389/fpubh.2021.587425
  8. Gómez, C. E., Perdiguero, B., & Esteban, M. (2021). Emerging SARS-CoV-2 Variants and Impact in Global Vaccination Programs against SARS-CoV-2/COVID-19. Vaccines, 9(3), 243. doi:10.3390/vaccines9030243 
  9. WHO. (2020, Desember 31). SARS-CoV-2 Variants. Mei 04, 2021. https://www.who.int/csr/don/31-december-2020-sars-cov2-variants/en/ CDC. (2021, Januari 28). Science Brief: Emerging SARS-CoV-2 Variants. Mei 04, 2021. https://www.cdc.gov/coronavirus/2019-ncov/science/science-briefs/scientific-brief-emerging-variants.html#ref4 
  10. Bernal, Jamie Lopez., Andrews, Nick., Gower, Charlotte., et al. (2022). Effectiveness of Covid-19 Vaccines against the B.1.617.2 (Delta) Variant. The new England journal of medicine. d: 10.1056/NEJMc2119270
  11. Choudharya, Om Prakash., Dhawan, Manish., Priyankad. (2022). Omicron variant (B.1.1.529) of SARS-CoV-2: Threat assessment and plan of action. International Journal of Surgery: 97, 06187.
  12. Rössler, Annika., Riepler, Lydia., Bante, David., von Laer, Dorothee., Kimpel, Janine. (2022). SARS-CoV-2 Omicron Variant Neutralization in Serum from Vaccinated and Convalescent Persons. The new England journal of medicine. doi: 10.1056/NEJMc2119236

Mengenal Lebih Dekat Penyakit Kanker

Oleh:
apt. Meidi Utami Puteri, M.Sc., Ph.D.
Dr. apt. Heri Setiawan, M.Sc.

“Berdasarkan data tahun 2019, kanker masih menjadi peringkat ke 1-2 penyebab kematian bagi orang berumur di bawah 70 tahun di lebih dari 180 negara. Secara umum di seluruh dunia dan Indonesia, angka kejadian dan kematian kanker meningkat terus setiap tahunnya, merefleksikan efek penuaan populasi dan perubahan sosio-ekonomi. Penyakit kanker pun identik dengan kesan sebuah penyakit mematikan yang tidak bisa sembuh dan tidak ada obatnya. Tapi apakah benar penyakit kanker tidak ada obatnya? Artikel ini hadir sebagai edukasi bagi masyarakat tentang penyakit kanker untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang definisi, pencegahan, dan pengobatan yang dapat dilakukan dalam menangani penyakit kanker”

DEFINISI KANKER

Kanker didefinisikan sebagai sekelompok penyakit tidak menular yang berasal dari pertumbuhan abnormal sel di dalam tubuh. Sel dengan karakteristik pembelahan abnormal tersebut disebut sel tumor. Sel-sel tumor kemudian berkembang menjadi jaringan yang disebut jaringan tumor yang dapat bersifat jinak (benign) atau ganas (malignant). Sel/ jaringan tumor yang bersifat ganas ini kemudian berpotensi menimbulkan penyakit kanker karena dapat terus-menerus membelah dan membesar kemudian merusak jaringan normal di sekitarnya lalu menimbulkan gejala/ keluhan pada pasien. Sel/jaringan tumor ini juga memiliki kesempatan untuk menyebar ke jaringan lain, fenomena tersebut disebut sebagai metastasis. Metastasis diketahui menjadi penyebab umum dari komplikasi dan kematian akibat kanker. Penyakit kanker juga biasa dikenal dengan penyakit neoplasma.

Gambar 1. Ilustrasi perbandingan jaringan normal dan kanker

JENIS-JENIS PENYAKIT KANKER

Kanker merupakan penyakit heterogen yang dapat diklasifikasikan berdasarkan secara histologi (karakteristik jaringan tumor) atau lokasi/organ di mana kanker ditemukan. Lima kategori utama kanker berdasarkan karakteristik histologisnya, adalah: karsinoma; sarkoma; mieloma; leukemia; dan limfoma. Selain itu, ada juga beberapa jenis campuran. Berdasarkan lokasi dimana kanker itu tumbuh, jenis kanker paling sering ditemukan diantaranya kanker paru-paru, kanker payudara pada wanita, kanker prostat, kanker usus besar dan rektum, dan kanker rahim.

TANDA DAN GEJALA KANKER

Beberapa tanda atau gejala dapat dijadikan peringatan bahwa seorang individu sedang mengidap penyakit kanker, namun perlu diperhatikan bahwa tanda/ gejala dibawah ini juga dapat ditimbulkan oleh sebab lain selain kanker. Tanda atau gejala yang biasanya ditemukan pada pasien pengidap kanker diantaranya: 

  • Muncul/ adanya benjolan yang tidak biasa 
  • Rasa sakit atau nyeri berkepanjangan tanpa sebab yang tidak kunjung hilang
  • Rasa kelelahan berkepanjangan yang tidak hilang meski sudah istirahat
  • Batuk atau sesak napas berkepanjangan
  • Penurunan berat badan secara drastis tanpa sebab
  • Terjadi perubahan warna atau tekstur pada kulit
  • Perdarahan tidak normal.

Apabila merasakan salah satu tanda atau gejala dari yang disebutkan diatas, seseorang memang patut waspada, namun bukan berarti menjadi terlalu khawatir, apalagi sebelum memeriksakan diri ke dokter. Penegakkan diagnosis penyakit kanker tetap akan dilakukan oleh dokter yang didasarkan bukan hanya pada analisa gejala pada pasien tapi juga dengan pemeriksaan lebih lanjut secara mendetail dan menyeluruh, seperti pemeriksaan laboratorium lengkap, riwayat penyakit keluarga, CT-scan dan MRI.

FAKTOR RISIKO PENYEBAB KANKER

Meskipun penyebab utama penyakit kanker pada umumnya sulit ditentukan namun beberapa faktor telah diidentifikasi sebagai faktor risiko penyakit kanker, diantaranya, 

  • Riwayat keluarga/ faktor genetik
  • Usia (penuaan)
  • Merokok
  • Paparan sinar UV atau sinar radiasi
  • Paparan bahan-bahan kimia
  • Paparan virus dan bakteri
  • Ketidakseimbangan hormon dalam tubuh
  • Konsumsi alkohol 
  • Diet yang tidak sehat
  • Kelebihan berat badan

Tentunya beberapa penyebab kanker ini dapat dicegah dengan modifikasi gaya hidup dan manajemen terapi yang tepat, namun faktor risiko seperti riwayat keluarga dan usia tidak dapat dicegah.

PENCEGAHAN KANKER

Sebesar 30% – 50% kematian akibat penyakit kanker dapat dicegah dengan memodifikasi atau menghindari faktor risiko utama pemicu kanker yang berbasis bukti ilmiah. Pencegahan kanker juga merupakan sebuah strategi jangka panjang yang paling hemat biaya sebagai bentuk upaya pengendalian penyakit kanker dibandingkan pengobatan kanker itu sendiri. Penyakit kanker juga dapat dicegah melalui deteksi dini kanker. 

Beberapa hal yang dapat dilakukan sebagai upaya pencegahan penyakit kanker diantaranya,

  • Menghindari penggunaan tembakau/ merokok
  • Menjaga berat badan yang ideal
  • Mengatur pola makan makanan yang sehat dan bergizi dengan komposisi banyak buah dan sayuran
  • Berolahraga secara teratur
  • Membatasi penggunaan alkohol
  • Mendapatkan vaksinasi terhadap Hepatitis B dan human papillomavirus (HPV)
  • Mengurangi paparan radiasi dan sinar ultraviolet (UV)
  • Menghindari polusi udara 
  • Melakukan general health check-up secara berkala

PENGOBATAN KANKER

Seorang pasien kanker akan lebih merespon pengobatan kanker secara efektif ketika kanker tersebut diidentifikasi lebih awal dan belum menyebar ke jaringan lain (metastasis). Hal ini akan menghasilkan kemungkinan yang lebih besar untuk sembuh dan bertahan hidup serta dengan morbiditas (kesakitan) yang lebih sedikit dan juga biaya pengobatan yang lebih murah.

Pilihan pengobatan seperti:

  • Pembedahan (pengangkatan jaringan tumor)
  • Radioterapi (pengobatan kanker yang memanfaatkan sinar radiasi dosis tinggi untuk membunuh sel kanker)
  • Pemberian obat-obatan antikanker (kemoterapi atau target terapi), dapat diberikan secara tunggal atau dalam bentuk kombinasi. 

Tim dokter ahli secara profesional akan merekomendasikan dan menyusun rencana perawatan terbaik berdasarkan jenis tumor, stadium kanker, kondisi klinis, dan faktor lainnya yang ada pada pasien. Hal tersebut menyebabkan pengobatan kanker akan sangat beragam antar pasien. Pilihan pengobatan pasien juga biasanya dengan mempertimbangkan kapasitas sistem kesehatan yang tersedia. Perawatan penderita kanker mencakup rencana terperinci untuk memantau kekambuhan kanker dan deteksi kanker baru, menilai dan mengelola efek jangka panjang yang terkait dengan kanker dan/atau pengobatannya, dan layanan untuk memastikan bahwa kebutuhan penderita kanker terpenuhi. Perawatan paliatif, yang berfokus pada peningkatan kualitas hidup pasien dan keluarganya, juga merupakan komponen penting dari perawatan kanker. Terlebih jika pasien mengidap kanker stadium lanjut dengan angka harapan sembuh yang kecil. 

OBAT-OBATAN ANTIKANKER

Dalam keadaan normal, tubuh memiliki regulasi yang ketat dalam mengatur keseimbangannya bahkan sampai kepada tingkat seluler, termasuk diantaranya proses pembelahan, kematian, dan diferensiasi sel. Ketika proses-proses tersebut terganggu maka timbulah penyakit kanker dimana sel membelah sangat cepat diluar kendali, sel tidak berdiferensiasi sebagaimana mestinya, dan program kematian sel yang ikut terganggu. Oleh karena itu, intervensi farmakologis yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan obat-obatan yang bersifat sitotoksik (dapat mematikan sel) atau neoplastik (dapat menghambat pembelahan sel). Secara umum obat-obatan antikanker dapat dibagi menjadi dua yaitu,

  1. Golongan obat kanker sitotoksik

Obat sitotoksik adalah golongan obat-obatan konvensional dalam pengobatan kanker karena efeknya yang dapat membunuh sel kanker. Ada beberapa golongan obat kemoterapi dengan mekanisme kerja berbeda namun dengan prinsip yang sama, yaitu untuk menghentikan pembelahan sel kanker dengan harapan dapat mencegah sel kanker tumbuh dan berkembang bahkan menyebar ke jaringan lain. Sayangnya, obat-obatan kemoterapi ini bekerja secara umum dan luas sehingga ia juga dapat menyerang sel normal pada tubuh manusia yang menyebabkan beratnya efek samping yang akan dialami pengidap kanker saat menjalani kemoterapi. Contoh obat-obatan dalam golongan ini adalah

  • Agen pengalkilasi (Alkylating Agents): Siklofosfamid, senyawa triazena (dakarbazin, temozolomid), garam-garam logam (sisplatin, karboplatin, oksaliplatin, satraplatin)
  • Antimetabolit: analog folat (aminopterin dan metotreksat), analog purin (mercaptopurine), analog pirimidin (fluorourasil, gemsitabin, kapesitabin)
  • Antimitotik: paklitaksel, dosetaksel, kabasitaksel
  • Antibiotik sitotoksik: puromisin, daunomisin/ daunorubisin, adriamisin/ doksorubisin.
  1. Golongan obat kanker dengan target spesifik

Berangkat dari keinginan para penliti untuk mengambangkan obat kanker yang lebih efektif dan minim efek samping, maka terwujudlah obat-obatan antikanker yang secara spesifik dapat membunuh hanya sel kanker dengan efek yang minim terhadap sel normal lainnya. Mekanisme kerja dari golongan obat ini pun sangat beragam dengan prinsip yang sama yaitu, menargetkan jalur persinyalan/molekul yang berperan penting bagi pertumbuhan sel kanker yang banyak atau hanya diekspresikan secara spesifik oleh sel kanker. Sampai saat ini golongan obat-obatan target terapi untuk kanker masih terus diteliti dan dikembangkan, namun sudah ada beberapa obat antikanker bertarget terapi yang tersedia, diantaranya adalah: 

  • Epidermal Growth Factor Receptor (EGFR) monoclonal antibody (mAB) adalah antibodi monoklonal yang pertama kali dikembangkan sebagai terapi anti kanker dengan target spesifik EGFR, contohnya yaitu, panitumumab and cetuximab
  • Inhibitor molekul kecil /small molecules inhibitors: Inhibitor dengan target spesifik pada protein kinase, contohnya yaitu, sorafenib
  • Terapi kanker imunoterapi: menstimulasi sistem imun dalam tubuh untuk menyerang sel kanker: Anti PD1/PDL1 mAB, contohnya yaitu, nivolumab dan avelumab)

“Beban yang diakibatkan dari penyakit kanker terus meningkat secara global, memberikan tekanan fisik, emosional, dan keuangan yang luar biasa pada pasien, keluarga, komunitas, dan sistem kesehatan. Sejumlah besar pasien kanker di beberapa negara dengan sistem dan fasilitas kesehatan yang masih belum memadai, tidak memiliki akses untuk mendapatkan diagnosis dan pengobatan berkualitas secara tepat waktu. Namun, di beberapa negara dengan sistem kesehatan yang kuat, tingkat kelangsungan hidup pasien berbagai jenis kanker pun dapat meningkat berkat mudahnya akses untuk deteksi dini dan pengobatan berkualitas serta berkelanjutan.” 

World Health Organization

Referensi

    • Bray F, Ferlay J, Soerjomataram I, Siegel RL, Torre LA, Jemal A. Global cancer statistics 2018: GLOBOCAN estimates of incidence and mortality worldwide for 36 cancers in 185 countries. CA Cancer J Clin. 2018;68(6):394-424.
    • Falzone L, Salomone S, Libra M. Evolution of Cancer Pharmacological Treatments at the Turn of the Third Millennium. Front Pharmacol. 2018;9:1300.
    • Hanahan D, Weinberg RA. Hallmarks of cancer: the next generation. Cell. 2011;144(5):646-74.
  • John P. Cunha, DO, FACOEP. Cancer Risk Factors and Causes. [Available from https://www.medicinenet.com/cancer_causes/article.htm]

Hepatitis Akut

HEPATITIS AKUT BARU MENIMBULKAN KEPARAHAN PADA ANAK
Oleh : apt. Hindun Wilda Risni, M.Farm dan apt. Rani Sauriasari, M.Med.Sci., Ph.D

Baru-baru ini, dunia cukup dikagetkan dengan berita hepatitis misterius yang terjadi di berbagai belahan dunia. Pada 5 April 2022, sebanyak 10 kasus hepatitis akut parah pada anak berusia 11 bulan – 5 tahun teridentifikasi di Skotlandia dengan gejala jaundice (kulit kekuningan), diare, muntah, dan nyeri perut. Pada tanggal 15 April 2022, World Health Organization (WHO) selanjutnya menetapkan hepatitis akut sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB).1 Laporan kasus hepatitis kemudian bermunculan dari negara-negara lain hingga mencapai 191 kasus probable (mungkin) per 27 April 2022.2 Di Indonesia, per 9 Mei 2022, menteri kesehatan mengungkap 15 kasus hepatitis akut telah terjadi. Sebagian besar anak yang menderita penyakit ini pada akhirnya sembuh, namun WHO telah mengkonfirmasi bahwa 17 anak telah menjalani transplantasi hati dan 1 anak dilaporkan meninggal.2,3

Definisi kasus

Definisi yang berlaku per 25 April 2022 dalam penentuan kasus hepatitis oleh WHO dan European Centre for Disease Prevention and Control (ECDC) adalah sebagai berikut4:

  1. Terkonfirmasi: saat ini belum tersedia (N/A)
  2. Probable:seseorang dengan hepatitis akut (non HepA-E) dengan transaminase serum >500 IU/l (AST atau ALT), yang berusia <16 tahun, sejak 1 Oktober 2021
  3. Epidemiologically-linked: seseorang (usia berapa pun) dengan hepatitis akut (non HepA-E) yang mengalami kontak dekat dengan kasus probable, sejak 1 Oktober 2021.

Dalam kasus epidemiologically-linked (berhubungan secara epidemiologis), seseorang dianggap berpotensi telah terpapar penyebab infeksi. Definisi kasus kemungkinan dapat berubah seiring dengan perkembangan kasus.

Penyebab

Etiologi atau penyebab kasus hepatitis baru ini masih belum diketahui secara pasti, sementara hasil uji laboratorium telah menyingkirkan kemungkinan infeksi virus hepatitis A, B, C, D, dan E. Setidaknya 74 kasus anak yang mengalami hepatitis ini terbukti memiliki adenovirus tipe 41 di tubuhnya.5 Adenovirus adalah virus tanpa envelope dengan genome dsDNA (double-stranded DNA) linear yang pada manusia diklasifikasikan ke dalam lebih dari 50 tipe serologi yang berbeda. Serotipe yang berbeda menyebabkan manifestasi klinis yang berbeda pula. Adenovirus tipe 41 dikenal sebagai virus yang menyebabkan gastroenteritis dan diare pada anak-anak, dengan berbagai bukti epidemik telah terdokumentasi di sekolah-sekolah dan rumah sakit.6 Transmisi atau penyebaran adenovirus terjadi ketika adanya kontak langsung dengan individu terinfeksi melalui inhalasi droplet (air liur) atau melalui rute faecal-oral (penularan melalui mulut dari makanan, minuman, atau benda lain yang terkontaminasi kotoran individu yang terinfeksi virus). Transmisi dapat terjadi juga secara tidak langsung melalui objek terkontaminasi.7

Sebelum kasus hepatitis misterius merebak, hepatitis belum pernah dilaporkan terjadi pada orang yang terinfeksi adenovirus tipe 41. Jika terjadi hepatitis pun, pada anak-anak dengan imunitas lemah umumnya tidak menimbulkan gejala atau gejala cenderung ringan dan bersifat self-limiting (sembuh dengan sendirinya). Sementara pada kasus hepatitis misterius saat ini, beberapa anak bahkan membutuhkan transplantasi hati. Oleh sebab itu, hepatitis ini diduga disebabkan oleh faktor tambahan lain yang menyebabkan gejala menjadi lebih parah.2 Untuk memastikan penyebab dan penyebaran infeksi, pihak terkait masih terus melakukan investigasi.

Gejala dan Tes/Uji Laboratorium

Periode inkubasi adenovirus pada saluran pernapasan diperkirakan antara dua hingga 14 hari, sedangkan pada saluran enterik (berkaitan dengan pencernaan di usus) antara tiga hingga 10 hari.7 Gejala pada kasus yang ditemukan terdiri dari jaundice, diare, muntah, dan nyeri perut. CDC memberikan himbauan kepada para orang tua untuk berhati-hati ketika terjadi gejala inflamasi hati pada anak, yaitu demam, kelelahan, nafsu makan berkurang, mual, muntah, nyeri perut, urin berwarna gelap, kotoran berwarna terang, nyeri sendi, dan jaundice.8

 Jika dikaitkan dengan adenovirus, virus ini dapat terdeteksi melalui tes antigen, PCR (Polymerase Chain Reaction), dan tes serologi virus, dengan menggunakan berbagai sampel bergantung gejala yang dialami pasien. Di Indonesia sendiri, menteri kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyampaikan bahwa protokol pengawasan kasus hepatitis akut parah telah disiapkan. Pada saat ini, tes yang disarankan adalah tes AST (SGOT) dan ALT (SGPT), suatu enzim hati yang jika nilainya melebihi batas normal mengindikasikan adanya gangguan pada hati. Belum ada himbauan khusus bahwa masyarakat harus melakukan tes lanjutan untuk mendeteksi adanya adenovirus.

Pencegahan dan pengobatan

Pengobatan hepatitis umumnya bersifat suportif, yaitu dengan memberikan hidrasi dan manajemen suhu. Organ hati pada dasarnya memiliki kemampuan regenerasi sehingga dalam beberapa hari atau minggu, penderita hepatitis dapat sembuh dengan terapi suportif. Pengobatan khusus mungkin dibutuhkan untuk kasus-kasus tertentu.3 Jika dikaitkan dengan adenovirus sebagai virus yang diduga menyebabkan hepatitis, terapi antivirus saat ini masih terbatas. Vaksin yang beredar dan telah disetujui oleh FDA (Food and Drug Administration) Amerika adalah vaksin untuk adenovirus tipe 4 dan 7.7 Kasus hepatitis ini masih dalam investigasi berbagai otoritas kesehatan di berbagai negara sehingga belum ada rekomendasi pengobatan yang spesifik.

Masyarakat dihimbau untuk tidak panik menghadapi kasus ini, namun pencegahan tetap harus menjadi perhatian. Selain memantau adanya gejala hepatitis, upaya pencegahan infeksi dan penyebaran virus yang dapat dilakukan oleh masyarakat, khususnya para orang tua, adalah memastikan dan membantu anak-anaknya untuk menjaga kebersihan tangan, menutup mulut dan hidung saat bersin dan batuk dengan menggunakan tisu/handuk atau dengan bagian dalam lengan, dan mengajarkan anak untuk tidak menyentuh mata, hidung, atau mulut mereka dalam keadaan tangan yang kotor.8 Mengingat potensi penyebaran virus dapat melalui saluran cerna dan saluran napas, Kementerian Kesehatan RI lebih jauh menghimbau pencegahan hepatitis akut pada anak dengan melakukan cara-cara berikut,

Pencegahan infeksi melalui saluran cerna:

  1. Rutin cuci tangan dengan sabun
  2. Pastikan makanan dalam keadaan matang dan bersih
  3. Tidak bergantian alat makan dengan orang lain
  4. Hindari kontak dengan orang sakit
  5. Menjaga kebersihan rumah dan lingkungan

Pencegahan infeksi melalui saluran napas:

  1. Kurangi mobilitas
  2. Gunakan masker jika bepergian
  3. Jaga jarak dengan orang lain
  4. Hindari keramaian atau kerumunan

REFERENSI

  1. World Health Organization (15 April 2022). Disease Outbreak News; Acute hepatitis of unknown aetiology – the United Kingdom of Great Britain and Northern Ireland. Available at: https://www.who.int/emergencies/disease-outbreak-news/item/acute-hepatitis-of-unknown-aetiology—the-united-kingdom-of-great-britain-and-northern-ireland
  2. Mücke MM, Zeuzem S. The recent outbreak of acute severe hepatitis in children of unknown origin – what is known so far. J Hepatol. 2022 May 6:S0168-8278(22)00271-9. doi: 10.1016/j.jhep.2022.05.001. Epub ahead of print.
  3. Mahase E. Hepatitis in children: What’s behind the outbreaks? BMJ. 2022 Apr 26;377:o1067. doi: 10.1136/bmj.o1067.
  4. World Health Organization (23 April 2022). Disease Outbreak News; Multi-Country – Acute, severe hepatitis of unknown origin in children. Available at: https://www.who.int/emergencies/disease-outbreak-news/item/2022-DON376
  5. Aricò, M.; Caselli, D. Acute, Severe Hepatitis of Unknown Origin: Should We Really Be Afraid of Another Obscure Enemy of Our Children? Pediatr. Rep. 2022, 14, 217–219. https://doi.org/10.3390/ pediatric14020029
  6. Lynch III JP, Kajon AE. Adenovirus: epidemiology, global spread of novel serotypes, and advances in treatment and prevention. Semin Respir Crit Care Med. 2016;37(04):586-602. Available at: https://www.thieme-connect.com/products/ejournals/html/10.1055/s-0036-1584923
  7. European Centre for Disease Prevention and Control (28 April 2022). Increase in severe acute hepatitis cases of unknown aetiology in children. Available at: https://www.ecdc.europa.eu/sites/default/files/documents/RRA-20220420-218-erratum.pdf
  8. Central for Disease Control and Prevention. (6 May 2022). Overview: Children with Hepatitis of Unknown Cause. Available at: https://www.cdc.gov/ncird/investigation/hepatitis-unknown-cause/overview-what-to-know.html.

Resistensi Antimikroba:

Resistensi Antimikroba: Apa dan Bagaimana?

Oleh:
apt. Kartika Citra Dewi Permata Sari, M.Farm., apt. Nisa Maria, M.Farm., apt. Larasari Arrum Kusumawardhani, M.Si
Fakultas Farmasi Universitas Indonesia

World Health Organization (WHO) menetapkan resistensi antimikroba menjadi 10 masalah  kesehatan terbesar di dunia. Masalah tersebut telah menjadi perhatian dunia sehingga setiap  tahunnya diadakan World Antimicrobial Awareness Week (WAAW) pada tanggal 18 – 24  November. Salah satu fokus kegiatan global tersebut adalah peningkatan edukasi dan  kesadaran seluruh pihak terkait bahaya resistensi antimikroba. Artikel ini hadir sebagai  bentuk upaya edukasi bagi masyarakat tentang resistensi antimikroba sehingga upaya  pengendalian resistensi dapat dioptimalkan. 

Mari mengenal antimikroba  

Antimikroba meliputi antibiotik, antivirus, antijamur dan antiparasit yang digunakan untuk  mencegah atau mengobati infeksi. . Penyebab infeksi ini adalah bakteri, virus, jamur atau  parasit. Obat antimikroba ini dibuat secara khusus untuk menghambat atau membunuh  antimikroba yang ditargetkan. Antimikroba dapat digunakan pada manusia, hewan, dan  tumbuhan. Beberapa contoh obat antimikroba dapat dilihat pada Gambar 1.

Obat antimikroba yang beredar di pasaran terdiri dari berbagai bentuk sediaan yaitu:
1. Oral (dikonsumsi)
2. Injeksi (disuntikan)
3. Topikal (penggunaan luar): bentuknya dapat berupa salep, krim, obat tetes dan lainnya 

Apakah antimikroba sama dengan antiseptik atau disinfektan?  

Antiseptik atau disinfektan adalah sebutan untuk senyawa kimia yang menghambat  pertumbuhan atau membunuh mikroba dan digunakan untuk sterilisasi atau membersihkan  permukaan. Penggunaan antiseptik atau disinfektan ditujukan untuk pencegahan infeksi  dari lingkungan, berbeda dengan antimikroba yang tujuan utamanya adalah terapi. Contoh  dari antiseptik adalah alkohol, hidrogen peroksida, dan formaldehid. 

 Bagaimana cara mendapatkan Antimikroba?  

Antimikroba merupakan OBAT KERAS yang penggunaannya harus berdasarkan resep  dokter. Jadi penggunaan antimikroba tidak diperbolehkan dalam pengobatan sendiri tanpa  berkonsultasi pada dokter. Namun, Apoteker di apotek dapat memberikan antimikroba  tertentu yang termasuk ke dalam Daftar Obat Wajib Apotek (DOWA) dengan pembatasan  dan aturan yang harus dipenuhi. Beberapa antimikroba yang masuk ke dalam DOWA  termasuk ke dalam antimikroba topikal dan pengobatan TBC ulangan. Oleh sebab itu, pada  saat melakukan pengobatan sendiri, masyarakat diharapkan untuk meminta konsultasi  kepada Apoteker di Apotek agar dapat diarahkan untuk menggunakan obat sesuai dengan  regulasi yang berlaku dan sesuai dengan kondisi kesehatan pasien. 

Apa akibatnya jika antimikroba digunakan tanpa kontrol?  

Penggunaan antimikroba tanpa pemeriksaan atau diagnosis yang tepat merupakan  penyebab utama terjadinya resistensi antimikroba. Dokter akan memberikan antibiotik  secara bijak sesuai dengan hasil pemeriksaan yang telah dilakukan. Selain itu, kepatuhan  terhadap aturan pakai antimikroba juga sangat berpengaruh terhadap risiko  resistensi. Obat antimikroba harus digunakan dengan aturan pakai tertentu untuk  menjamin efektif melawan mikroba. Oleh sebab itu, walaupun gejala sudah dirasa membaik,  pasien tetap diedukasi untuk menghabiskan obat antimikroba sesuai aturan pakai yang  diresepkan. 

Apa itu resistensi antimikroba?  

Resistensi antimikroba adalah ketika bakteri, virus, jamur atau parasit penyebab infeksi  bermutasi dan menyebabkan obat antimikroba tidak efektif lagi atau menjadi kebal. Pada dasarnya, organisme kecil seperti bakteri, virus, jamur atau parasit memang memiliki  sifat mudah bermutasi sebagai upaya untuk bertahan hidup. Penggunaan antimikroba yang  tidak sesuai dengan aturan pakai juga menyebabkan peningkatan risiko resistensi. Misalnya, 

saat ada antimikroba yang menyerang bakteri tertentu tetapi diberikan dalam dosis yang  tidak tepat, maka bakteri akan berusaha mempertahankan diri dengan cara bermutasi.  Apabila bakteri tersebut telah bermutasi, antimikroba yang sebelumnya diberikan bisa  menjadi tidak mempan lagi untuk menghambat atau membunuh bakteri yang sudah  bermutasi tersebut. Masyarakat sering menyebutnya menjadi bakteri sudah kebal. Kondisi  ini yang disebut terjadinya resistensi antimikroba. Jika terinfeksi oleh mikroba yang sudah  resisten tersebut maka untuk dapat diobati harus menggunakan antimikroba lain yang  masih bisa menghambat atau membunuh bakteri tersebut.  

Apa penyebab resistensi antimikroba?  

Hal -hal yang dapat menyebabkan resistensi antimikroba adalah: 

  1. Penggunaan antimikroba yang tidak tepat (tidak rasional) di manusia, hewan dan  tumbuhan. 
  2. Pembuangan obat antimikroba yang tidak sesuai sehingga mencemari lingkungan. c. Kurangnya perilaku pencegahan infeksi yang menyebabkan penyakit infeksi mudah  menyebar. 
  3. Kurangnya akses yang memadai terhadap pengobatan, vaksin maupun pemeriksaan  kesehatan 
  4. Kurangnya kesadaran dan pemahaman mengenai penggunaan antimikroba serta risiko  resistensi. 
  5. Kurangnya kontrol terhadap obat antimikroba. 

Mengapa resistensi antimikroba itu berbahaya?  

Resistensi antimikroba sangat berbahaya karena menyebabkan penyakit infeksi lebih sulit  diobati. Resistensi antimikroba dapat terjadi terhadap satu atau lebih obat antimikroba. Bahkan, saat ini sudah ada mikroba yang disebut superbugs” yang kebal terhadap banyak  antimikroba. Sebagaimana kita ketahui, penyakit infeksi mudah menular sehingga apabila  seseorang terinfeksi superbugs ini maka orang tersebut dapat menularkan ke banyak orang bahkan berpindah negara. Selain itu, mikroba resisten juga dapat ditularkan antar hewan ke  manusia. Apabila terjadi kondisi seperti ini maka akan sangat sulit menemukan antimikroba yang bisa digunakan untuk mengatasi penyakit yang disebabkannya. Selain itu, pengembangan obat antimikroba tidak secepat kejadian resistensi. Kondisi tersebut menjadi  sangat berbahaya dan menjadikan risiko beban kesehatan dan ekonomi akibat penyakit  infeksi menjadi lebih besar. 

Jadi apa yang harus dilakukan untuk mengendalikan resistensi antimikroba?  

Upaya pengendalian resistensi antimikroba membutuhkan peran aktif dari seluruh pihak.  Pemerintah Indonesia sudah menetapkan rencana aksi nasional terkait pengendalian 

resistensi antimikroba yang melibatkan berbagai pihak kementerian/Lembaga sebagai  pendekatan “One Health Approach”. Lalu apa yang dapat dilakukan sebagai masyarakat  awam untuk berperan dalam pengendalian antimikroba. Gambar 3 menjelaskan hal-hal yang  dapat dilakukan oleh masyarakat untuk mengendalikan laju resistensi antimikroba. 

Selain yang telah dipaparkan pada Gambar 3, salah satu upaya penting pencegahan  resistensi antimikroba adalah pencegahan infeksi. Hal yang dapat dilakukan untuk  mencegah penularan infeksi adalah sebagai berikut: 

  1. Menjalankan perilaku hidup bersih dan sehat 
  2. Rajin mencuci tangan dengan sabun atau menggunakan hand sanitizer c. Menggunakan masker 

Dengan mencegah penularan infeksi maka kita juga mengendalikan penggunaan  antimikroba.  

Referensi: 

Anwar M., et al. 2020. Improper disposal of unused antibiotics: an often overlooked driver of  antimicrobial resistance. Expert review of anti-infective therapy Vol 18 (8) p 697-699. https://doi.org/10.1080/14787210.2020.1754797 

Badan Pengawas Obat dan Makanan RI. 2014. Informatorium Obat Nasional Indonesia.  http://pionas.pom.go.id/ioni/pedoman-umum 

Badan Pengawas Obat dan Makanan RI. 2019. Badan POM Canangkan “Ayo Buang Sampah  Obat-Gerakan Waspada Obat Ilegal”. https://www.pom.go.id/new/view/direct/ayo buang-sampah-obat 

McDonnell, G., & Russell, A. D. 2001. Antiseptics and Disinfectants: Activity, Action, and  Resistance. Clinical Microbiology Reviews, 14(1), 227. 

World Health Organization. 2020. Antimicrobial resistance. https://www.who.int/news room/fact-sheets/detail/antimicrobial-resistance

World Health Organization . 2021. World Antimicrobial Awareness Week.  https://www.who.int/indonesia/news/campaign/waaw-2021